marque 1

Selamat Datang (dianjurkan untuk mendengarkan musik pada playlist yang ada)

Sunday, April 17, 2011

ANAK INGUSAN DAN PETANG

Add caption
ANAK INGUSAN dan PETANg


sebelum petang, ketika senja di ujung tongkat, pemuda-pemuda kampung membereskan diri masing-masing , duduk bercerita, dicampuri canda tawa iseng tanda permainan sepak bola sore itu telah bubar. Ontel-ontel lawas mengantre sepanjang jalan di samping lapangan, menambah ramai sore itu ketika saling lempar salam terjadi oleh para pemuda dan para pengayuh rante ontel. Desa bekonang memang desa yang ramah, orang orang akan saling menyapa jika bertemu. Setiap sore sebelum petang, jalan penghubung desa dan kota dipenuhi orang lalu lalang, yang berjalan kaki membawa peralatan sawah adalah petani, pejalan kaki telanjang dada adalah pemuda sehabis main bola, pengguna ontel yag kebanyakan gadis-gadis adalah buruh pabrik kota, sedangkan gadis yang lain di rumah mereka menggarap hal-hal yang laak dilakukan ibu rumah tangga. Rutinitas penduduk desa terlihat jelas di tanggul atas lapangan.

Bayangan orang di jalan terlihat besar, hitam ditarik dari kaki-kaki hinggan kaki gawang disorot matahari, saat itu juga bayang-bayang buyar ketika ia berkata.
“ berapa hari lagi kau disini ?” Ia yang duduk berselonjor melihat jauh ke arah matahari di kepala gunung merapi.
“ satu hari, besok malam aku ke bandara “

“ begitu ya ? ya begitu orang sukses, baru liburan sebentar saja sudah mau dinas lagi.” Menoleh padaku dengan senyum khasnya, ia kini melihat matahari muda tak bercahaya.

“ kau ini ti, siapa yang sukses? “
“ ya kau, lihat saja, katamu dua hari yang lalu kau datang, habis itu mau pergi lagi, nggak kangen sama sari ?” ia semakin mengingatkanku pada sari, sewaktu tk, kami sering disebut-sebut sebagai pasangan yang bahagia jika dewasa, padahal, seumuran itu kami tak pernah berjabat tangan, apalagi sampai berpikir membuat cerita masa depan.
Pernah sari dan ibunya turun dari becak, sebelum membayar upah abang becak, ibunya menyapa ibuku seketika melihat paras ibu. mereka adalah sahabat sedari kecil yang saat itu membahas hal-hal mengenai arisan ibu-ibu kampung, aku ingat benar, ketika aku dan sari disuruh berkenalan, ia tak mau berjabat tangan sedangkan aku sudah menawarkan uluran tanganku. Itulah pertama kali aku kenal sari, ia tak menerima jabat tanganku ketika saat hari pertama masuk TK diantar oleh orang tua siswa.

“ah sari, kemarin sore aku lihat dia pakai jas dan rok rapi naik motor bebek, pasti dia bekerja di kantoran kota, dari dulu memang cita-citanya seperti itu, katanya di depan kelas cita cita saya ingin menjadi pegawai, pakaian rapi dan bagus.” Sari memang begitu jika bicara, ia tegas dan rajin, nada suaranya seperti pembaca berita eklusif di TV.

“ iya, dia sekarang kerja di Bank Indonesia, kamu tau? Dulu waktu kamu pergi ke paris, dia sangat dekat dengan ibumu. Tapi semenjak keluargamu pindah ke bandung, dia tak lagi ke rumahmu, mungkin karena penghuni rumah sudah beda, bukan keluargamu lagi.”

“ iya, sari memang dekat sama ibu.”
“ lalu kau?”
“ nggak begitu dekat, dia adik buatku , jika dia kesusahan, menolak ditolong. Tapi jka tidak ditolong, aku tak dibolehkan berangkat sekolah bareng mobil bapaknya.” Tiba –tiba aku teringat pak Tarno, bapaknya sari, setahun yang lalu beliau dipanggil Tuhan, sebulan setelah sari menjadi pegawai negeri. Pak tarno adalah bapak yang bijak, setelah pulang sekolah, ia seakan tau isi hatiku yang ingin ziarah di kuburan bapak, kami bertiga berziarah di depan kening kubur bapak. Masih terdengar bisikan pak tarno di kupingku yang seolah olah menjadi kekuatan dalam hidupku, tenang saja bung, anak ini pasti akan jadi orang besok, melebihi kamu. Sari mencari kembang di sekitar makam, masih mengenakan botol minum yang disampirkan di leher, dan aku terdiam melihat nisan bapak . Saat itu aku tak tau maksud bisikan itu, tapi kini aku semakin mengerti perkataan itu perlahan-lahan.

“ man, kau berpikir apa? Dari tadi kau melamun”

“nggak apa apa ti, aku hanya ingat kebaikan pak tarno dulu, beliau bapak kedua buatku. “ aku melihat wajah beliau bersama ayahku di langit yang hampir gelap.

“dia memang baik man, tapi dia sekarang sudah tenang.”

“coba saja aku bisa membelikannya beo mahal, pasti dia suka sekali ti, tapi..”

“tapi nggak bisa kan man? Kau sih, seperti hilang nggak ada kabar, apalagi setelah ibumu di bandung. Tak ada kabar tentang keluargamu yang diterima warga sini, apalagi aku, sangat kehilangan ibumu, kau tau, ibumu yang membiayai sekolahku sampai SMA, entah apa yang harus kuberikan pada ibumu, yang bisa kulakukan hanya memijat kaki ibumu setelah ia pulang dari kantor, kakinya yang halus menjadi lemas, aku kagum dengan semangat ibumu man, ibuku hanya dapat membuat nasi goreng kesukaannya tiap minggu, itupun beliau senangnya bukan main, yang dikatakannya seperti ini ehm ehm ibu, yanti tanganya halus, kalau sudah lulus jangan sampai jadi buruh pabrik kota ya?.. begitu ucapanya, dia masih mengunyah nasi goreng sambil tertawa”

Aku berpikir jika Yanti melanjutkan perkataanya, air mata akan jatuh, aku tak ingin pertemuan ini menjadi reuni kisah haru antara masa lalu, sebuah celotehku kupaksa keluar.
“ waktu itu aku dimana ti? “

“ah, kau tidur, kau tidur di pangkuanku, habis itu kau bangun dan minta diajari belajar padaku, padahal, anak ingusan kaya kamu itu belum mandi”

Anak ingusan, sari sering menyebutku anak ingusan, itu karena aku malas mengurusi ingus yang keluar dari hidungku. Tapi perkataan Yanti sangat tajam terasa olehku, entah mengapa aku merasa sentimentil.
“ sekarang, aku masih ingusan ti? “

“ya sedikit, lihat saja, seorang dokter muda pakai pakaian masih kaya anak kecil, masih saja salah mengancing baju”

aku semakin kalah karena tawanya, apalagi matanya yang melirik kancing yang tak sejajar di kemeja, tanpa berpikir kubalikkan badan dan mensejajarkan tiap kancing agar sejajar.

“dulu kau yang pakaikan aku baju ti.”

“ iya, dulu kau seperti itu, kalau pakai seragam sering tak sejajar. Aku tak menyangka, seorang dokter muda dari luar negeri masih belum bisa menghilangkan kebiasaan buruk sewaktu kecil.”

“kau jangan mengejek ti, aku sekarang sudah beda.”
“ iya arman, kau sudah beda sekarang, tambah tinggi, tampan dan tak ada ingus di hidungmu lagi.” Tawanya semakin menjadi, tapi kali ini aku rela disanjung seperti itu, atu.. di sindir?
“pasti banyak perempuan-perempuan yang antre sama kamu, mungkin bule paris juga, ibumu tak perlu bingung lagi cari pendamping buatmu.”

Hari semakin gelap, riak langit tak memancarkan cahaya silau lagi, tapi matahari masih separo badan sebunyi dibalik gunung merapi,  hanya beberapa orang yang lalu lalang di jalan bawah. Pejalan kaki semakin berkurang, beberapa menit lagi jalan kosong, dan waktu terasa singkat dan membatasi, aku merasa waktu akan habis, ada hal yang belum kusampaikan pada Yanti, yang sudah kutanyakan dulu.

“ maghrib ti, sebentar lagi adzan, trimakasih sudah mau mengobrol denganku, meski awalnya kau tak kenal aku jika aku tak panggil kamu.”

“ santai saja arman, aku kan kakak angkatmu, aku malah senang kamu yang berhasil masih mau ke desa ini, saya tau, alasanya karena ziarah ayahanda kan?”

“iya ti, memang begitu, selain itu aku kangen dengan lapangan ini, kau menunggu aku bermain sepakbola sama teman-temanku, kau ingat ti?”

“ingat man, kan setiap sore kamu main bola”

“setiap sore itu  juga kau usap ingusku kan ti?”  guyonan lawas kusisipkan di sela kalimat sebelum ia melanjutkan perkataannya lagi , karena aku tau, ia akan mengatakan seperti itu juga, yanti tertawa dan berdiri sambil menegakkan ontelnya.

“bagaimana pak arman? Sudah cukupkah? Sudah mulai petang, lebih baik kau istirahat buat perjalananmu besok”

“hm, pakai pak segala, tentang istirahat itu soal gampang yan, tapi aku belum mau ke jakarta tanpa memberikanmu pesan.”

“pesan man? Apa?”

matahari  mengintip hati-hati di balik merapi, merbabu iri, bulan datang diam-diam dari gunung lawu, membawa pasukan bintang berkelip pelan-pelan.

“dari dulu ti, aku masih tetap seperti dulu ti, aku mau menikahimu ti. Aku mau menikahimu “

“kau serius man?”

“ serius ti, dulu waktu kau mengusap ingusku, pernah kukatakan sekali, kau bilang kalau bersedia kunikahi jika aku tak ingusan lagi, sekarang aku sudah seperti ini ti.”

Kulihat wajah yanti yang ungu penuh lekuk, aku tak berani melihat wajahnya, berbeda seperti dulu ketika kukatakan akan menikahinya, ia tertawa, tapi sekarang, tangannya mengepal.

“ sari suka kamu man.”

“dia adikku ti, dia dilamar Pejabat kota 3 bulan lalu, aku tau itu dari pak Bagyo.”

Wajah yanti semakin keras, ia banting balik badannya membelakangiku, dan menuntun sepedanya pelan- pelan menuruni tanggul menuju lapangan. Tak ada salam, ia nampaknya benar-benar marah. Tapi aku tak ingin berakhir seperti ini, aku menginginkan sesuatu yang bisa meneruskannya.

“Yan, besok aku akan pergi, aku ingin kau mengantarku ke bandara yan, sebelum itu, aku ingin mengajakmu makan berdua, kau mau yan?”

ia tetap berjalan.
“Yan, aku serius yan, kau marah?”

suaraku yang meninggi membuatnya berhenti melangkah dan membalik badan ke arahku, raut wajahnya masih musam, penuh amarah, aku hanya berkali-kali memohon kepadanya, “kau marah? aku mohon yan, kau yang antar aku.”

berkali-kali kuucapkan permohonanku, kurasa dadaku sesak dengan kemarahannya, kedatanganku di desa ini menjadi cerita kurang mengenakkan jika ia marah, ia 10 tahun lebih tua dari aku, tapi sudah 16 tahun aku menyimpan keinginan untuk menikahinya, hari bertambah petang, gelap menutup wajah yanti, tapi kali ini, gelap membawa wajah yanti tak seseram tadi, kusamnya menjinak, aku bertanya lagi.

“kau mau mengantarku besok yan? “

matahari tak mengintip lagi, ditarik ufuk timur dan seakan ditelan merapi, mentari itu tak sempat melihat akhir pertemuanku dengan yanti petang itu, karena yanti mengangguk kepalanya amat sedikit, dan membalikkan badanya kemudian mengayuh ontel melewati jalan sepi.
aku tak tau isi hati yanti, yang ku tahu , ada kemungkinan ia mengantarku besok, akan kumanfaatkan perpisahan itu. Bulan dan pasukannya di langit hanya tau di akhir pertemuanku dengan yanti sore itu, ketika aku memohon ke yanti sambil menggenggam cincin yang kubeli, angin menerpa mukaku, dan komat maghrib kagetkan aku dalam kesendirianku, sore itu, di tanggul bekonang aku dan yanti hanya berdua, aku teringat pak bagyo tetanggaku dulu memintaku untuk memotivasi anaknya dalam belajar, selagi aku menginap di rumah pak bagyo, mercury rumah desa menyala besar kecil, mercury rumah pak bagyo yang paling besar, aku akan menuju mercury setelah melewati gang nomor tiga dari  jalan kosong ini, mercury lain menyala bergantian, dan cahaya lampu kecil menyala remang, berjalan, kulihat seorang wanita cantik mengendarai motor bebek, dia sari, sepulangnya dari kota seberang.



_ Dimsa Arif, Palur, 17-04-2011



         

No comments: