marque 1

Selamat Datang (dianjurkan untuk mendengarkan musik pada playlist yang ada)

Monday, June 13, 2011

di Tepi Sungai Kami dipertemukan

Sebuah perasaan itu datang lagi, sesungguhnya, sedikitpun dikedalaman ruang benakku  tak ada keberanian untuk kembali menikmati ihwal perasaan padanya. Nadiku terus deras mengalir, degup yang berdetak kencang merekatkan kulit disekujur tubuh, termasuk lapisan kulit di wajahku, terus menarik dari dasar seperti kembang layu menjadi tegang jelita. Sejelita mata sayu berbinar cerah, mulut yang tak kunjung diam dari senyum penuh tak percaya.
    Ia duduk di bawah pohon sejuk yang sedari dulu tingginya masih sama, dedaunan jatuh menjangkau tanah di sekitar tubuh yang menghadap sungai bening dari gunung. Aku masih meniliknya dan menimbang keberanian untuk menghampirinya. Sesekali muncul di hatiku, apakah boleh aku merasakan kembali perasaan padanya? kakiku yang tadinya selangkah mendekat berubah arah dan melangkah dua kali. Dan satu pertanyaan datang, Apa benar dia? aku melihat cincin di jari manisnya, tapi tak ada cincin yang kuberi padanya.
    Tubuh rapuh ini berdiri putus asa memandangnya dari belakang, aku merasa akan sia-sia menemuinya lagi. Dia tak mengenalku lagi, Andaikata wanita dibawah pohon itu benar-benar lina. Pasti tak mengenalku lagi!
    Badanku tak pernah senja, itu tak akan terjadi. Memoriku yang senja, meneguk caya mentari sejak pagi, yang kini menikmati caya dengan semburat kemerahan diperbatasan kegelapan malam, tapi panas pagi masih sedikit terasa. Seperti senja mengingat pagi, panas pagi tentang ketidakberanian untuk kembali menikmati ihwal perasaan padanya. Ketidak beranian menyurutkan kebencianku padanya. Aku menilik tubuh itu hati-hati.
    Segenap takan mencintainya yang menggerakkan kakiku padanya. Tepat selangkah disampinnya, sekujur badan gemetar melihatnya, jiwaku lemas, ragaku yang angkuh terperosok sayu. Benar, ia Lina! Wajahnya tetap anggun seperti saat kuliah, pertama kali kita bertemu. “Kau ? Lin.. Lina?” Nafasku buas sedikit dapat dijinakkan, “ Aku tak menyangka kau akan datang secepat ini, kau masih cantik, seperti dulu.”
    Ia memandangku sedetik, kemudian menyergap tubuhku erat. Tanganya yang melingkari tubuhku masih sama seperti dulu, sehangat saat kuliah. Dua bola matanya mengair kemudian menangis seperti anak kecil yang sudah lama tak berjumpa ibunya “ Kenapa kau meninggalkan aku dulu? Aku sangat sedih waktu kau pergi, aku yang paling sedih, aku merindukanmu, aku merindukanmu, apa kau  tak merasakan itu?”
    Tentu saja aku selalu berharap kau seperti itu, hanya saja aku tak berani merasakannya, karna jika merasakan sebenih cinta itu, akan terjadi hal yang lebih buruk padamu Lina. Dalam dekapnya aku mengangguk mengusap kerudungnya. Ia yang mulanya terisak tangis, menjadi tersenyum tangis.
    “ Sukurlah mas, kalau mas merasakan aku rindu kangmas. Kupikir mas pergi dengan kebencian yang membuatku bertanya-tanya selama ini. Mas pergi tidak dengan benci kan?”
    “ Tidak Lin.”
    “ Bagaiamanapun, mas sangat berjasa padaku, aku sangat menyayangi mas.”
    Sebening sungai suci, darahku mengalir tenang tanpa debu sedikitpun. Darah yang kukenal menakutkan menjadi manis, dan udara mempunyai rasa begitu manis. Semanis hatiku mendengar ucapanya. Kusapu air mata yang mengalir dari matanya agar nampak ayu. ia memandangku senyum.
    “ Kau lembut seperti dulu mas.”
    “ Kau bercanda.”
    “ Sungguh mas, kau lembut, dulu kau lembut, setiap wanita di dekatmu merasa nyaman karena kau lindungi.”
    “ Siapa yang melindungi? Siapa yang lembut? Bukankah aku dingin di dekat perempuan-perempuan seperti kalian? Sudahlah lin, cabut kembali katamu tentang aku yang kau sebut lembut. Itu tak ada dalam diriku.”
    “ Masih saja kau bicara seperti itu mas,” ia tertawa mengejek kemudian mencongkel hidungku, “ Masih mau menyembunyikannya? di depan kau dingin, tapi dari kejauhan kau melindungi kan? yah, meski banyak yang luput sih, haha.” Tawanya yang lama tak kudengar luruhkan prndirianku dan meng-iyakan ucapanya tak sengaja.
    “ Kau benar, buat apa sekarang disembunyikan hal itu, haha, lucu juga jika diingat.”
    “ Tentu hanya kau yang merasa hal itu sebagai sebuah lelucon kan? Sedangkan yang lain, kau tinggalkan pertanyaan-pertanyaan yang tak jelas, pertanyaan yang kami tahu jawabannya beberapa hari kemudian. Kurangajar kamu kangmas, kami yang mengalami merasa bingung setengah mati.”
    “ Dan merasa kupermainkan?”
    “ Ya, tapi itu sebelum kau berubah mas.”
    “ Seperti itu juga, aku di dalamnya mengalami keterpurukan Lin, itu jika ada yang merasakannya.” Pembicaraan yang cair menjadi diam, Lina masih di pelukku, tangan mungilnya masih erat di pundak. “ Sudahlah, kangmas masih mau meninggalkan pertanyaan di benaku lagi? jangan membuat ketidakjelasan lagi ya kangmas? yang penting sekarang aku sudah bertemu mas, dan rinduku pada mas terbayar selama ini. Aku rindu kamu mas. Aku rindu sosok lelaki yang membuatku percaya pada jodoh, lelaki yang mengubah cara pandangku tentang mimpi, yang meyakinkan di atas langit masih ada langit. Dan itu kamu kangmas, Aku rindu kamu.”
    Berkali-kali ia mengucapkan rindu padaku mebuat aku tak bisa menahan perasaanku padanya, perasaan yang kusimpan dulu, perasaan seperti matanya yang menatapku malu di malam waktu itu. tanganya kini mendekam erat, dahi kami menempel. Kami seperti anak muda yang mabuk kepayang perihal asmara, nakal. Dan tingkah laku kami bagai pengantin muda, mencumbu mesra. dengan keikhlasan ia menyerahkan bibirnya, Bibir yang dijaganya sungguh-sungguh. Seperti belibis yang nakal, ia berusaha menyenagkanku memberiku peluang untuk buahnya yang ranum.
    “ Aku tidak bisa Lin ! jangan kita lanjutkan. “ Kupalingkan wajahku darinya, agar kami menghentikan perbuatan yang tak terpikirkan pada keberanianku di awal bertemu dengannya tadi. Sedangkan Lina merapikan pakaiannya dan berkata.
    “ Maafkan aku mas, aku tak  bermaksut. Aku hanya ingin menumpahkan perasaanku dari dulu, saat kuyakin kau cinta sejatiku.”
    Akupun merasa begitu Lina, tapi di benakku lain.
    “ Aku masih mencintaimu mas, sedikitpun tak berkurang mas, bagaimana dengan kamu? Apakah kau sama?”
    “ Kau bohong ! manamungkin kau bisa bicara seperti itu padaku, sedangkan yang kau kenakan adalah cincin dari lelaki lain. Baiklah, aku akan jujur, aku memang mencintaimu. Tapi ketika Keluargamu menjodohkanmu dengan pria lain dan kulihat kau lebih baik bersamanya. Perlahan aku menghilangkan cintaku padamu. Dan aku berusaha benci padamu, sampai sekarang aku benci padamu.” Aku mengatakannya agar tetap tegar dan waras.
    “ Aku tidak bohong mas,” pengakuanya membuat mata ini terbelalak, dikeluarkannya kalung berkepala cincin emas dari dalam kerudungnya. di cincin itu tertulis namanya. Tulisan yang tak asing, yaitu tulisan tanganku.” Aku meminta ijin pada suamiku, Heri. Agar tetap menyimpan cincin pemberianmu. Untungnya, ia adalah lelaki yang baik, ia memahami perasaanku padamu yang tak mungkin kuhapus selamanya, ia mengijinkanku untuk mengenakan cincinmu mas, meski dijadikan kalung. Dan di jari manisku ini memang cincin pernikahanku denganya mas.”
    Penjelasannya menusuk dadaku, membuatku malu atas diriku sendiri. Angkasa memang luas, sehingga makna yang ada tak dapat dibaca seutuhnya. Aku melupakan hal itu, aku lupa tentang makna yang tak semuanya kutemukan. Aku telah mendewakan tebakanku ! Aku malu tentang pikiranku pada Heri, pria yang kuanggap tak tau apa-apa dan hanya mengandalkan uang orangtuanya, mampu berpikir bijaksana, jauh bijaksana dariku. Dan wanita yang sangat kucintai, aku telah meragukannya. Padahal, ia berani mengutarakan perasaannya padaku kepada suaminya. Sungguh perbuatan yang tak lazim dilakukan oleh seorang istri. Tapi dilakukannya, dia. Lina !
    “ Tak perlu merasa canggung mas, aku yang meminta maaf. Aku sadar, untuk wanita sepertiku seharusnya tak melakukan hal seperti tadi.”
    “ Maafkan aku lin.”
    “ Aku paham perasaanmu mas, aku yang seharusnya meminta maaf, aku tak bisa menjaga diriku sendiri.” Maafnya mendiamkan kami dabawah tiupan angin yang sedikit kencang menerpa pohon sejuk, menjatuhkan daun-daun dan melayang ke sungai. “ Sudahlah Lin, aku senang dengan pertemuan kita ini, terlebih lagi kau mengenakan kerudung saat pertama kali aku bertemu kau. Lebih baik kau beristirahat setelah perjalanan panjangmu. Carilah tempat beristirahat yang layak.”
    “ Tidak mas, aku masih ingin di sini. Masih sangat ingin.”
    Ketika hendak kutanya mengapa padanya, kulihat wajahnya yang terus melihat sungai sejak pembicaraan kita yang canggung. Seorang Lelaki menggantikan popok bayi laki-laki terlihat di riak air bening. Lina yang duduk menggenggam tanganku tersenyum tanpa henti. Aku yang biasanya mengangkuhkan diri, surut seketika melihat pemandangan itu. “ Berapa umur anak itu Lin?”
    “ 36 hari mas, dia sangat ganteng dan manis. Aku bangga melahirkanya, aku senang Heri sabar menggantikan popok anakku.”
    “ Iya, Heri memang lelaki bertanggung jawab, aku bangga padanya. Tak sia-sia doaku dulu, doa saat aku benar-benar merasa jatuh. Sekarang aku sadar, karena saat itu aku tak benar jatuh. Benar Lin, anak itu benar-benar manis, siapa dulu ibunya, Lina. Lina yang optimistis.” Lina benar-benar orang yang optimistis, sayang, ia meninggal saat melahirkan anak pertamanya, Meski ia tak membesarkananaknya, tapi dia tetap Ibu yang Luar Biasa, Ibu yang Abadi.
    “ Nama anak itu Aris mas, kupinta pada Heri untuk menamainya seperti namamu, nama yang membuatku sadar tentang jodoh. Dan Heri setuju akan hal itu, ia menganggapmusebagai pahlawan mas, baginya, kau keluarga.”
    Apa lagi yang mereka perbuat mengenai aku, disini aku memikirkan hal lain tentang keluarga kecil Lina, meski dalam doaku dulu, Lina dibahagiakan oleh Heri, kupinta pada Tuhan untuk menjadikan Heri lelaki yang baik untuk membahagiakan Lina, sekali lagi untuk Lina. Mereka adalah orang yang bijaksana, apalagi ketika Lina menganggapku sebagai ayah Aris kecil dan berhak memberikan doa kepada Aris kecil. Aku yang seharusnya bukan apa-apa untuk mereka, belajar begitu banyak hal dari mereka.
    “ Sungai disini beda dengan sungai dibawah ya mas?”
    “ Ya, disini kekal, Kau bisa melihat Heri dan Aris kecil dari sini.”
    “ Kalau begitu, di malam hari , kita apa mas?” tanyanya anak kecil. Inilah Lina yang kukenal.
    “ Kau bisa menjadikanmu sesuka hatimu sendiri.”
Kami tersenyum
                                 
dimsa arif. 13/06/2011
cerpen dari puisi "Tudung surga detik itu"

No comments: